Kata antonimi
berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma
yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. ‘Maka’ secara harfiah
antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar
(1978) mendefinisikan sebagai: ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat
pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain. Misalnya dengan kata bagus
adalah antonim dengan kata buruk;
kata besar adalah berantonim dengan
kata kecil; dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat
dua buah arah. Jadi, kalau kata bagus
berantonim dengan kata buruk;dan kalau
kata membeli berantonim dengan kata menjual maka kata menjual pun berantonim dengan kata membeli. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut:
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua
tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran
kalimat. Hanya barangkali mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah.
Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada;
dalam bahasa Inggris kita jumpai contoh thankful
dengan thankless, dimana ful dan less berantonim ; antara progresif
dengan regresif dimana pro dan re- berantonim; juga antara bilingual
dengan monolingual, dimana bi dan mono berantonim.
Dalam buku-buku pelajaran bahasa Indonesia, antonim biasanya
disebut lawan kata. Banyak orang yang tidak setuju dengan istilah ini sebab
hakikatnya yang berlaianan bukan kata-kata itu, melainkankan makna dari
kata-kata itu. Maka, mereka yang tidak setuju dengan istilah lawan kata lalu
menggunakan istilah lawan makna. Namun, benarkah dua buah kata yang berantonim,
maknanya benar-benar berlawanan? Benarkah hidup
lawan mati? putih lawan hitam? Dan menjual lawan membeli? Sesuatu yang hidup memang belum atau tidak mati, dan
sesuatu yang mati memang tidak hidup. Jadi, memang berlawanan. Apakah juga yang
putih dan tidak hitam? Belum tentu, mungkin kelabu. Menurut ilmu fisika putih
adalah warna campuran dari segala warna, sedangkan hitam memang tidak ada warna sama sekali. Lalu, apakah juga sesuatu
yang jauh berarti tidak dekat? Juga belum tentu. Tampaknya
soal jauh atau dekat bersifat relatif. Patokannya tidak tentu bisa bergeser. Soal menjual dan membeli tampaknya merupakan dua hal yang berlaku bersamaan; tidak
ada proses pembelian tanpa terjadinya proses penjualan. Begitu juga sebaliknya.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa antonim pun, sama
halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya barangkali dalam
batasan di atas, Verhaar menyatakan “...yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain”. Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan.
Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutkan oposisi
makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul
berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati,
seperti sudah dibicarakan di atas, mungkin bisa mnjadi contoh yang berlawanan;
tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.
Lebih jauh, berdasarkan sifatnya, oposisi ini dapat dibedakan
menjadi:
2.3.1. Opsisi Mutlak
Di sini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya
antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat
batas mutlak , sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan
sesuatu yang mati tentu tidak hidup lagi.
Memang menurut kedokteran ada keadaan yang disebut “koma”, yaitu keadaan
seseorang yang hidup tidak, tetapi mati pun belum. Namun, orang yang berada
dalam dalam keadaan “koma” itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa seperti
manusia hidup. Yang tersisa sebagai bukti hidup hanyalah detak jantung saja.
Contoh lain dari oposisi mutlak ini adalah kata gerak dan diam sesuatu
yang (ber)gerak tentu tiada dalam
keadaan diam; dan sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber)gerak. Kedua proses ini tidak dapat
berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.
2.3.2 Oposisi Kutub
Makna
kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat
mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada
kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya
dan miskin adalah dua buah kata yang
beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya
dan miskin tidak mutlak. Orang
yang tidak kaya belum tentu merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya. Bagi orang yang biasa
berpendapatan satu bulan sepuluh juta, lalu tiba-tiba saja hanya berpenghasilan
tidak lebih dari satu juta rupiah, sudah merasa dirinya miskin. Sebaliknya
seseorang yang setiap hari hanya berpenghasilan Rp 1.000,00 lalu tiba-tiba
berpenghasilan Rp 5.000,00, sudah merasa dirinya kaya. Itulah sebabnya
kata-kata yang beroposisi kutub ini sifatnya relatif, sukar ditentukan batasnya
yang mutlak. Atau bisa juga dikatakan batasnya bisa bergeser, tidak tetap pada
suatu titik. Kalau didiagramkan keadaan tersebut menjadi sebagi berikut:
Makin ke atas makin kaya dan makin ke bawah makin miskin. Namun bata kaya-miskin itu
sendiri dapat bergeser ke atas dan ke bawah. Ketidakmutlakan makna dalam
oposisi ini tampak juga dari adanya gradasi seperti agak kaya, cukup kaya, kaya , dan sangat kaya. Atau pun juga dari adanya tingkat perbandingan seperti
kaya, lebih kaya, dan paling kaya. Namun yang paling kaya dalam suatu deret
perbandingan mungkin menjadi yang paling miskin dalm suatu deret perbandingan
yang lain. Kita ambil contoh lain, yaitu besar-kecil.
Dalam deret gajah, banteng, dan keledai maka keledai menjadi yang paling kecil. Dalam deret gajah, kambing, dan keledai,
kita lihat keledai bukan yang paling
kecil; dan dalam deret kucing, kambing, dan
keledai, dia menjadi yang paling
besar. Sedangkan yang paling kecilnya adalah kucing. Jadi, jelas batasan dalam oposisi kutub ini relatifr
sekali.
Itulah
sebabnya barangkali, imbauan untuk hidup
sederhana sukar dilaksanakan sebab batas antara sederhana dan tidak
sederhana sangat relatif, sangat bergantung pada situasi, kondisim dan sikap
manusianya.
Kata-kata
yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti
jauh-dekat, panjang-pendek,
tingggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
2.3.3. Oposisi Hubungan
Makna
kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi.
Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi
oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya,
kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli walaupun
maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak. Proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehinga bisa dikatakan
tak akan ada proses menjual jika
tidak ada proses membeli. Contoh
lain, kata suami beroposisi dengan
kata istri. Kedua kata ini hadir
serempak: tak akan ada seseorang disebut sebagai suami jika dia tidak memunyai istri.
Begitu pula sebaliknya. Tak mungkin seorang wanita disebut sebagai istri jika dia tidak memunyai suami. Andaikata suaminya meninggal maka
status “keistrian”nya sudah tidak ada lagi. Dia mungkin masih bisa disebut
“bekas istri”;; tetapi yang tepat dia kini adalah seorang janda, bukan istri lagi.
Kata-kata
yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja, seperti mundur-maju, pulang-pergi, pasang-surut,
memberi-menerima, belajar-mengajar, dan sebagainya. Selain itu, bisa juga
berupa kata benda, seperti ayah-ibu,
guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
2.3.4. Oposisi Hierarkial
Makna
kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau
tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah
kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan
hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya
kata meter beroposisi hierarkial
dengan kata kilometer karena berada
dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam
satuan ukuran yang menyatakan berat. Contoh lain kata prajurit dan kata opsir adalah
dua buah kata yang beroposisi secara hirarkial karena keduanya berada dalam
deretan nama jenjang kepangkatan.
2.3.5. Oposisi Majemuk
Selama
ini yang dibicarakan adalah oposisi di antara dua buah kata, seperti mati-hidup, menjual-membeli, jauh-dekat, dan
prajurit-opsir. Namun, dalam
perbendaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari
sebuah kata. Misalnya kata berdiri bisa
beroposisi deengan kata duduk, dengan
kata berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim
disebut dengan istilah oposisi majemuk.
Jadi:
duduk
Berdiri berbaring
tiarap
berjongkok
Contoh lain, kata diam
yang dapat beroposisi dengan kata berbicara,
bergerak, dan bekerja.
Satu hal lain yang perlu dicatat, tidak setiap kata bahasa
Indonesia memiliki antonim atau oposisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar