Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa
(terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya
kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher
ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan
hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja,
dan kepala kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat
seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4)
pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor,
dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap
kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam
kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksanaan sering diartikan sebagai kata
yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah,tetapi juga
bermakna ganda, jadi, apa bedanya? Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama
bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari
satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi
sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya, frase buku sejarah
baru
dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu
berisi sejarah zaman baru. Contoh lain, kalimat Orang malas lewat di sana dapat ditafsirkan sebagai (1) jarang
ada orang yang mau lewat di sana, atau (2) yang mau lewat di sana hanya
orang-orang malas.
Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak
akan terjadi karena struktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Tetapi
didalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika
penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan. Barangkali kalau contoh buku sejarah baru dimaksudkan untuk
makna atau penafsiran (1), maka sebaiknya ditulis buku-sejarah baru; tetapi jika dimaksudkan makna atau penafsiran
(2), maka sebaiknya ditulis buku
sejarah-baru. Jadi, yang pertama antara kata buku dan sejarah diberi tanda
hubung (-) sedangkan pada yang kedua tanda hubung itu diletakkan di antara kata
sejarah dan kata baru. Namun , ambiguitas pada tingkat yang lebih tinggi dari
kalimat seperti pada wacana [ Ali
bersahabat karib dengan Badu. Dia sangat mencintai istrinya] tidak dapat
diartikan dengan upaya ejaan. Coba anda pikirkan siapa mencintai istri siapa
dalam wacana tersebut.
Pembicaraan mengenai ambiguitas ini tampaknya sama dengan
pembicaraan mengenai homonimi. Contoh kalimat Istri
lurah yang baru itu cantik pada pembicaraan tentang homonimi, juga dapat
menjadi contoh dalam pembicaraan ambiguitas. Perbedaannya adalah homonimi
dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna, yang berbeda,
sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai
akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi
pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi
dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat)
seperti sudah dibicarakan diatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar