Manajemen
konflik adalah seni mengatur dan mengelola konflik yang ada pada masyarakat
agar menjadi fungsional dan bermanfaat bagi peningkatan mutu sumber daya
manusia. Tujuan utama manajemen konflik adalah untuk membangun dan
mempertahankan kerjasama yang kooperatif dengan para teman sejawat, bawahan, atasan, dan pihak luar.
Tidak
ada satu pendekatan pun yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu,
penting untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan
situasi.
Ada
lima gaya dalam manajemen konflik yang sudah umum diterima. Kelima gaya
tersebut dapat digunakan dan harus disesuaikan dengan konflik yang sedang
terjadi (Winardi, 2007: 18).
1. Tindakan
Menghindari
Bersikap
tidak kooperatif, dan tidak asertif; menarik diri dari situasi yang berkembang,
dan atau bersikap netral dalam segala macam “cuaca” (Winardi, 2007: 19). Orang
yang menggunakan gaya ini tidak memberikan nilai yang tinggi pada dirinya atau
orang lain. Aspek negatif dari gaya ini adalah melemparkan masalah pada orang lain
atau mengesampingkan masalah.
Orang
yang menggunakan gaya ini menarik diri dari situasi yang ada dan membiarkan orang
lain untuk menyelesaikannya. Di sisi
lain, gaya ini bisa membuat pihak lain kesal karena harus menunggu lama untuk
mendapatkan jawaban dan tidak banyak memberikan kepuasan, sehingga konflik
cenderung akan berlanjut (Pickering, 2006: 37).
Kata-kata yang mengisyaratkan gaya
menghindari, antara lain:
a) “Saya
usul sebaiknya hal ini kita simpan dulu untuk sementara.”
b) “Saya
belum mendapat semua informasi yang diperlukan. Saya akan hubungi Anda begitu
saya...”
2. Kompetisi
(Mendominasi)
Bersikap
tidak kooperatif, tetapi asertif; bekerja dengan cara menentang keinginan pihak
lain, berjuang untuk mendominasi dalam suatu situasi “menang atau kalah”, dan
atau memaksakan segala sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu, dengan
menggunakan kekuasaan yang ada (Winardi, 2007: 19). Gaya ini menekankan
kepentingan sendiri. Pada gaya mendominasi, kepentingan orang lain tidak
digubris sama sekali.
Gaya
ini sebaiknya hanya digunakan bila sangat diperlukan. Gaya mendominasi bisa
efektif bila ada perbedaan besar dalam tingkat pengetahuan yang dimiliki.
Kemampuan menyajikan fakta, menimbang berbagai persoalan, memberikan nasihat
yang jitu, dan menggerakkan langkah nyata selama konflik, akan sangat berguna (Pickering,
2006: 37).
Kata-kata
yang mengisyaratkan gaya kompetisi atau komando otoritatif , antara lain:
a) “Saya tidak peduli pendapat Anda. Kerjakan
saja perintah saya.”
b) “Itu
tidak jadi soal. Memang begitulah adanya.”
3. Akomodasi
(Mengikuti Kemauan Orang Lain)
Bersikap
kooperatif, tetapi tidak asertif; membiarkan keinginan pihak lain menonjol;
meratakan perbedaan-perbedaaan guna mempertahankan harmoni yang diciptakan
secara buatan (Winardi, 2007: 19). Gaya ini bisa disebut juga placating (memuaskan) atau mengikuti
kemauan orang lain. Gaya ini adalah gaya lain untuk mengatasi konflik.
Gaya
ini menilai orang lain lebih tinggi dan memberika nilai rendah pada diri
sendiri. Gaya mengikuti kemauan orang lain berusaha menyembunyikan perbedaan
yang ada antar pihak-pihak terlibat sejauh mungkin dan mencari titiik-titik
persamaan. Bila digunakan secara efektif, gaya ini dapat memelihara hubungan
yang baik. Gaya mengikuti kemauan orang lain berusaha menyembunyikan perbedaan
yang ada antara pihak-pihak terlibat sejauh mungkin dan mencari titik-titik
persamaan (Pickering, 2006: 37).
Kata-kata yang mengisyaratkan gaya
akomodasi atau meratakan, antara lain:
a) “Saya
tidak peduli, terserah Anda saja.”
b) “
Anda ahlinya. Apa pendapat Anda?”
4. Kompromis
Bersikap
cukup kooperatif dan asertif, tetapi tidak hingga tingkat ekstrim. Bekerja
menuju ke arah pemuasan kepentingan parsial semua pihak yang berkepentingan;
melaksanakan upaya tawar-menawar untuk mencapai pemecahan-pemecahan “akseptabel”
tetapi bukan pemecahan optimal, hingga tak seorang pun merasa bahwa ia menang
atau kalah secara mutlak (Winardi, 2007: 19).
Kompromi adalah gaya lain untuk
menagani konflik. Gaya ini berorientasi pada jalan tengah, karena setiap orang
punya sesuatu yang ditawarkan dan diterima. Gaya ini sangat efektif bila kedua
belah pihak sama-sama benar, tetapi menghasilkan penyelesaian keliru bila salah
satu pihak salah. Kompromi dapat dipilih bila cara-cara lain tidak membuahkan
hasil dan kedua belah pihak bersedia menjelaskan pendapat dan mencari jalan
tengah. Keahlian bernegosiasi dan tawar-menawar adalah pelengkap gaya kompromi.
Pihak-pihak yang bersangkutan didorong untuk membicarakan persoalan yang
dihadapi dan mencapai kesepakatan (Pickering, 2006: 37).
Kata-kata yang mengisyaratkan
pendekatan kompromi antara lain:
a) “Pendapat
kita rupanya berbeda. Apa sebenarnya maksud Anda?”
b) “Kita
semua harus bersedia memberi dan menerima jika ingin bekerja sama. Oleh karena
itu, mari kita buka kartu masing-masing.”
5. Kolaborasi
(kerja sama)
Bersifat
kooperatif, maupun asertif; berupaya untuk mencapai kepuasan benar-benar setiap
pihak yang berkepentingan, dengan jalan bekerja melalui perbedaan-perbedaan
yang ada; mencari dan memecahkan masalah demikian rupa, hingga setiap orang
mencapai keuntungan sebagai hasilnya (Winardi, 2007: 19).
Kolaborasi adalah gaya menangani
konflik sama-sama menang. Orang yang memilih gaya ini mencoba mengadakan
pertukaran informasi. Gaya kolaborasi menyatukan langkah semua pihak pada upaya
mencari pemecahan bagi persoalan yang kompleks. Gaya ini tepat digunakan bila
orang dan masalah jelas terpisah, dan biasanya tidak efektif bila pihak-pihak
yang bertikai memang ingin bertengkar (Pickering, 2006: 37).
Ungkapan yang dapat digunakan untuk
memicu gaya kolaborasi dalam menangani konflik antara lain:
a)
“Tampaknya ada perbedaan pendapat, mari
kita cari bersama sumber perbedaan
itu.”
b) “Sebaiknya
kita ajak beberapa orang lagi dari departemen lain untuk bersama-sama mengupas
pemecahannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar