Translate

Minggu, 26 Juni 2016

Manajemen Konflik



Manajemen konflik adalah seni mengatur dan mengelola konflik yang ada pada masyarakat agar menjadi fungsional dan bermanfaat bagi peningkatan mutu sumber daya manusia. Tujuan utama manajemen konflik adalah untuk membangun dan mempertahankan kerjasama yang kooperatif dengan para teman sejawat,  bawahan, atasan, dan pihak luar.
Tidak ada satu pendekatan pun yang efektif untuk semua situasi. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan kemampuan menggunakan setiap gaya sesuai dengan situasi.
Ada lima gaya dalam manajemen konflik yang sudah umum diterima. Kelima gaya tersebut dapat digunakan dan harus disesuaikan dengan konflik yang sedang terjadi (Winardi, 2007: 18).

1.      Tindakan Menghindari
Bersikap tidak kooperatif, dan tidak asertif; menarik diri dari situasi yang berkembang, dan atau bersikap netral dalam segala macam “cuaca” (Winardi, 2007: 19). Orang yang menggunakan gaya ini tidak memberikan nilai yang tinggi pada dirinya atau orang lain. Aspek negatif dari gaya ini adalah melemparkan masalah pada orang lain atau mengesampingkan masalah.
Orang yang menggunakan gaya ini menarik diri dari situasi yang ada dan membiarkan orang lain untuk menyelesaikannya.  Di sisi lain, gaya ini bisa membuat pihak lain kesal karena harus menunggu lama untuk mendapatkan jawaban dan tidak banyak memberikan kepuasan, sehingga konflik cenderung akan berlanjut (Pickering, 2006: 37).
Kata-kata yang mengisyaratkan gaya menghindari, antara lain:
a)      “Saya usul sebaiknya hal ini kita simpan dulu untuk sementara.”
b)      “Saya belum mendapat semua informasi yang diperlukan. Saya akan hubungi Anda begitu saya...”

2.      Kompetisi (Mendominasi)
Bersikap tidak kooperatif, tetapi asertif; bekerja dengan cara menentang keinginan pihak lain, berjuang untuk mendominasi dalam suatu situasi “menang atau kalah”, dan atau memaksakan segala sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu, dengan menggunakan kekuasaan yang ada (Winardi, 2007: 19). Gaya ini menekankan kepentingan sendiri. Pada gaya mendominasi, kepentingan orang lain tidak digubris sama sekali.
Gaya ini sebaiknya hanya digunakan bila sangat diperlukan. Gaya mendominasi bisa efektif bila ada perbedaan besar dalam tingkat pengetahuan yang dimiliki. Kemampuan menyajikan fakta, menimbang berbagai persoalan, memberikan nasihat yang jitu, dan menggerakkan langkah nyata selama konflik, akan sangat berguna (Pickering, 2006: 37).
Kata-kata yang mengisyaratkan gaya kompetisi atau komando otoritatif , antara lain:
a)       “Saya tidak peduli pendapat Anda. Kerjakan saja perintah saya.”
b)      “Itu tidak jadi soal. Memang begitulah adanya.”

3.      Akomodasi (Mengikuti Kemauan Orang Lain)
Bersikap kooperatif, tetapi tidak asertif; membiarkan keinginan pihak lain menonjol; meratakan perbedaan-perbedaaan guna mempertahankan harmoni yang diciptakan secara buatan (Winardi, 2007: 19). Gaya ini bisa disebut juga placating (memuaskan) atau mengikuti kemauan orang lain. Gaya ini adalah gaya lain untuk mengatasi konflik.
Gaya ini menilai orang lain lebih tinggi dan memberika nilai rendah pada diri sendiri. Gaya mengikuti kemauan orang lain berusaha menyembunyikan perbedaan yang ada antar pihak-pihak terlibat sejauh mungkin dan mencari titiik-titik persamaan. Bila digunakan secara efektif, gaya ini dapat memelihara hubungan yang baik. Gaya mengikuti kemauan orang lain berusaha menyembunyikan perbedaan yang ada antara pihak-pihak terlibat sejauh mungkin dan mencari titik-titik persamaan (Pickering, 2006: 37).
Kata-kata yang mengisyaratkan gaya akomodasi atau meratakan, antara lain:
a)      “Saya tidak peduli, terserah Anda saja.”
b)      “ Anda ahlinya. Apa pendapat Anda?”

4.      Kompromis
Bersikap cukup kooperatif dan asertif, tetapi tidak hingga tingkat ekstrim. Bekerja menuju ke arah pemuasan kepentingan parsial semua pihak yang berkepentingan; melaksanakan upaya tawar-menawar untuk mencapai pemecahan-pemecahan “akseptabel” tetapi bukan pemecahan optimal, hingga tak seorang pun merasa bahwa ia menang atau kalah secara mutlak (Winardi, 2007: 19).
Kompromi adalah gaya lain untuk menagani konflik. Gaya ini berorientasi pada jalan tengah, karena setiap orang punya sesuatu yang ditawarkan dan diterima. Gaya ini sangat efektif bila kedua belah pihak sama-sama benar, tetapi menghasilkan penyelesaian keliru bila salah satu pihak salah. Kompromi dapat dipilih bila cara-cara lain tidak membuahkan hasil dan kedua belah pihak bersedia menjelaskan pendapat dan mencari jalan tengah. Keahlian bernegosiasi dan tawar-menawar adalah pelengkap gaya kompromi. Pihak-pihak yang bersangkutan didorong untuk membicarakan persoalan yang dihadapi dan mencapai kesepakatan (Pickering, 2006: 37).
Kata-kata yang mengisyaratkan pendekatan kompromi antara lain:
a)      “Pendapat kita rupanya berbeda. Apa sebenarnya maksud Anda?”
b)      “Kita semua harus bersedia memberi dan menerima jika ingin bekerja sama. Oleh karena itu, mari kita buka kartu masing-masing.”

5.      Kolaborasi (kerja sama)
Bersifat kooperatif, maupun asertif; berupaya untuk mencapai kepuasan benar-benar setiap pihak yang berkepentingan, dengan jalan bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada; mencari dan memecahkan masalah demikian rupa, hingga setiap orang mencapai keuntungan sebagai hasilnya (Winardi, 2007: 19).
Kolaborasi adalah gaya menangani konflik sama-sama menang. Orang yang memilih gaya ini mencoba mengadakan pertukaran informasi. Gaya kolaborasi menyatukan langkah semua pihak pada upaya mencari pemecahan bagi persoalan yang kompleks. Gaya ini tepat digunakan bila orang dan masalah jelas terpisah, dan biasanya tidak efektif bila pihak-pihak yang bertikai memang ingin bertengkar (Pickering, 2006: 37).
Ungkapan yang dapat digunakan untuk memicu gaya kolaborasi dalam menangani konflik antara lain:
a)      “Tampaknya ada perbedaan pendapat, mari kita cari bersama sumber   perbedaan itu.”
b)      “Sebaiknya kita ajak beberapa orang lagi dari departemen lain untuk bersama-sama mengupas pemecahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar