Kata homonimi berasal dari bahasa
Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’
dan homo yang artinya ‘sama’. Secara
harfiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’.
Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan
(berupa kata, frase, atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain
(juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Umpamanya
antara kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti ‘kekasih’; antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, dapat’. Contoh lain, antara kata baku yang berarti ‘standar’ dengan baku yang berarti ;saling’, atau antara
kata bandar yang berarti ‘pelabuhan’,
bandar yang berarti ‘parit’ dan bandar yang berarti ‘pemegang uang dalam
perjudian’.
Hubungan antara kata pacar dengan arti ‘inai’ dan kata pacar dengan arti ‘kekasih’ inilah yang
disebut homonim. Jadi, kata pacar yang
pertama berhomonim dengan kata pacar yang
kedua. Begitu juga sebaliknya karena hubungan homonimi ini bersifat dua arah.
Dalam kasus bandar yang menjadi
contoh di atas, homonimi itu terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa
Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri atas tiga buah kata.
Di dalam kamus kata-kata yang
berhomonimi ini biasanya ditandai dengan angka Romawi yang diletakan di
belakang tiap kata (entri) yang berhomonimi itu; atau juga dengan angka Arab
yang diangkat setelah spasi dan diletakan di depan kata-kata tersebut. Di dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan
W.J.S. Poerwadarminta digunakan angka Romawi:
bandar I ............
bandar II ..........
bandar III .........
bisa I ........
bisa II .......
Tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) juga
oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu
ditandai dengan angka Arab sebagai berikut.
1bandar ............
2bandar ..........
3bandar .........
1bisa ........
2bisa .......
Hubungan antara dua buah kata yang
homonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti 'racun ular' homonim
dengan kata bisa yang berarti 'sanggup', maka kata bisa yang berarti 'sanggup'
juga homonim dengan kata bisa yang berarti 'racun ular'. Kalau kata bisa yang
berarti 'racun ular' kita sebut bisa I dan kata bisa yang berarti 'sanggup'
kita sebut bisa II, maka diagramnya menjadi sebagai berikut:
Kalau
ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua
kemungkinan sebab terjadinya homonimi ini.
Pertama, bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari
bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya, kata bisa yang berarti 'racun
ular' berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang berarti 'sanggup'
berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain kata bang yang berarti 'azan' berasal dari
bahasa Jawa, sedangkan kata bang ( kependekan dari abang) yang berarti 'kakak
laki-laki berasal dari bahasa Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang
berarti 'pangkal, permulaan' berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal
yang berarti 'kalau' berasal dari dialek Jakarta.
Kedua, bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai
hasil proses morfologi. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat Ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah
berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai
hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur ( me + kukur = mengukur );
sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbihan
awalan me- pada kata ukur ( me + ukur = mengukur ).
Sama halnya
dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran
morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Homonimi
antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang
lainnya. Misalnya, antara morfem -nya pada kalimat: " ini buku saya, itu
bukumu, dan yang di sana bukunya" berhomonimi dengan -nya pada kalimat
"Mau belajar tetapi bukunya belum ada." Morfem -nya yang pertama
adalah kata ganti orang ketiga sedangkan morfem -nya yang kedua menyatakan
sebuah buku tertentu.
Homonimi
antarkata, misalnya antara kata bisa yang berarti 'racun ular' dan kata bisa
yang berarti 'sanggup, atau dapat' seperti sudah disebutkan di muka. Contoh
lain, antara kata semi yang berarti 'tunas' dan kata semi yang berarti
'setengah'.
Homonimi
antarfrase, misalnya antar frase cinta anak yang berarti 'perasaan cinta dari
seorang anak kepada ibunya' dan frase cinta anak yang berarti 'cinta kepada
anak dari seorang ibu'. Contoh lain, orang tua yang berarti 'ayah ibu' dan
frase orang tua yang berarti 'orang yang sudah tua'. Juga antara frase lukisan
Yusuf yang berarti 'lukisan milik Yusuf, dan lukisan Yusuf yang berarti
'lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti 'lukisan wajah
Yusuf.
Homonimi
antarkalimat, misalnya, antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti
'lurah yang baru diangkat itu memunyai istri yang cantik', dan kalimat. Istri
lurah yang baru itu cantik yang berarti 'lurah itu baru menikah lagi dengan
seorang wanita yang cantik'.
Di samping
homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi. Ketiga istilah ini biasanya
dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek pembicaraan. Kalau istilah
homonimi yang sebelumnya sudah dibahas di atas dilihat dari segi bentuk satuan
bahasanya itu maka homofoni.
Homofoni sebetulnya sama saja dengan
homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata
bisa yang berarti ‘racun ular dan kata bisa
yang berarti ‘sanggup, dapat’ selain merupakan bentuk yang homonimi adalah
juga bentuk yang homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga sama.
Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis
dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna. Misalnya
kata bank dan bang, yang bunyinya persis sama, tetapi maknanya berbeda. Bank adalah lembaga yang mengurus lalu
lintas uang, sedangkan bang adalah
bentuk singkat dari abang yang
berarti ‘kakak laki-laki’. Contoh lain adalah kata sanksi yang berhomofon
dengan kata sangsi. Sanksi berarti
‘akibat, konsekuensi’ seperti dalam kalimat Apa
sanksinya kalau belum membayar uang SPP? sedangkan kata sangsi yang berarti ‘ragu’ seperti dalam
kalimat Saya sangsi apakah dia akan dapat
menyelesaikan pekerjaan itu. Dalam bahasa Indonesia kata-kata yang homofon
tetapi tidak homograf tidak banyak.
Kalau kita perhatikan contoh bisa yang berarti ‘racun ular’ dan bisa yang ‘sanggup, dapat’, maka contoh
tersebut selain homonim dan homofon, juga sekaligus homograf karena selain
bentuknya dan bunyinya sama, juga ejaannya atau tulisannya sama. Tetapi di
dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang tulisannya sama (jadi, homograf),
sedangkan lafalnya atau bunyinya tidak sama (jadi, tidak homofon). Misalnya
kata teras yang dilafalkan [ t ə r a
s] dan berarti ‘inti-kayu’ dengan kata teras
yang dilafalkan [teras] dan berarti ‘lantai yang agak ketinggian di depan
rumah’. Contoh lain kata sedan yang
dilafalkan [s ə d a n] dan berarti
‘tangis kecil, isak’ dengan kata sedan
yang dilafalkan [sedan] dan berarti ‘sejenis mobil penumpang’.
Kalau melihat kedua contoh diatas
makan dapat dikatakan masalah kehomografian di dalam bahasa Indonesia adalah
karena tidak diperbedakannya lambang untuk fonem /ə/ dan fonem /e/ di dalam
sistem ejaan bahasa Indonesia yang berlaku sekarang ini. Andaikata semua fonem
itu dilambangkan dengan huruf yang berbeda maka masalah kehomografian itu
dengan sendiri menjadi tidak ada. Bahasa Melayu dulu yang ditulis dengan huruf
Arab penuh dengan kasus homografi, seperti tulisan ﻛﻣﺐﻊ yang bisa dibaca kambing, kembang, kembung atau kumbang.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta kata-kata yang
homograf ini diberi keterangan cara melafalkannya dibelakang tiap-tiap kata
tersebut, dengan membedakan lambang untuk fonem /ə/, dengan huruf /e/ sedangkan
untuk fonem /e/ dengan huruf < é >. Misalnya:
teras /teras/ 1. hati kayu atau bagian
dalam kayu
2.
.....................
téras (téras) 1. sebidang tanah datar yang miring atau
lebih tinggi dari yang lain
2.
tanah atau lantai yang agak ketinggian di depan rumah.
Ada beberapa buku pelajaran yang
menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim karena mereka berpandangan ada
dua macam homonim, yaitu (a) homonim yang homofon, dan (b) homonim yang
homograf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar