Pengertian
Pendekatan Strukturalis
Langkah awal
dalam sebuah penelitian karya sastra adalah dengan menggunakan analisis
struktural. (Abrams dalam Nurgiyantoro, 1994:36) menjelaskan bahwa “struktur
karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua
bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk
kebulatan yang indah”.
Analisis struktural, pendekatan instrinsik, atau pendekatan objektif
termasuk penelitian, telaah, atau pengkajian terhadap karya sastra sendiri.
Perbedaan istilah itu lebih disebabkan oleh perbedaan cara pandang peneliti
menempatkan dan memberi pengertian terhadap karya sastra. Dalam analisis
struktural, karya sastra dianggap sebagai sebuah struktur: ia hadir dan
dibangun oleh sejumlah unsur yang berperan secara fungsional. Analisis
struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur
cerpen sebagai kesatuan struktural. Pusat perhatian analisis struktural adalah
hubungan fungsional antar unsur itu sebagai suatu keutuhan. Kesatuan
unsur-unsur itu bukan cuma kumpulan atau tumpukan hal-hal tertentu yang berdiri
sendiri, namun saling berkaitan, terikat, bergantung satu sama lain.
1.
Tema
Menurut Stanton tema adalah
makna yang terkandung di dalam suatu cerita. (Nurgiyantoro, 2007: 67). Karena
ceritanya yang pendek, cerpen cenderung hanya ada satu tema
2.
Alur (plot)
Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai
peristiwa disajikan dalam urutan tertentu (Sudjiman, 1992: 19). Peristiwa yang
diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur (plot). Plot merupakan
unsur fiksi yang paling penting karena kejelasan plot merupakan kejelasan
tentang keterkaitan antara peristiwa yang dikisahkan secara linier dan
kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan.
Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur
atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai
interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam
keseluruhan karya fiksi. Lebih lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113)
mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian,
namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang
satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan
cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui
rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau
membangun pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi
yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang
saling berkaitan secara logis dan kronologis, serta aderetan peristiwa itu
diakibatkan dan dialami oleh para tokoh (1986: 112).
3. Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah
tokoh, penokohan, dan perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan
unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada
cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang
akhirnya menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang
logis yang terkait oleh waktu.
4. Latar (setting)
Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi
sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia
yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran
tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu
Lartar atau setting adalah sesuiatu yang
menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman
mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang
berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1992: 46). Sumardjo dan Saini K.M.
(1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu
tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada
pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.
5. Sudut pandang
Sudut
pandang adalah sesuatu yang mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari
posisi mana (siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat (Nurgiantoro, 2007:
246).
6. Amanat
Secara etimologis kata tema berasal dari
istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan
objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan
dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus
dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya
perbedaan pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti”
maupun “makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan
atau ide kepengarangan.
Analisis Cerpen dengan Pendekatan Strukturalis
2.2.1 Cerpen Jendela Tua
Selalu. Pada akhirnya kita akan pulang pada kesendirian. Setelah
suami meninggal. Setelah anak-anak memilih rantau sebagai tujuan kehidupan. Dan
rumah gadang hanya tinggal sebagai simbol kekokohan yang sebenarnya teramat
rapuh dan sunyi. Di sanalah bermukimnya para ibu tua. Dengan kebaya lusuh.
Dengan selendang usang. Menyulam waktu yang tak terukur. Menjahit rentang tak
terkira. Lengang. Dan sendiri. Tapi hidup, tentu akan terus berjalan.
Sebuah jam lama di tonggak rumah gadang menunjukkan pukul delapan
malam. Ibu tua itu baru saja selesai berdoa setelah sholat isya. Dengan sedikit
tertatih ia berjalan menuju almanak yang tergantung di dinding. Setelah
mengamati angka demi angka dalam almanak tersebut, perhatiannya beralih pada
sebuah foto keluarga dengan bingkai yang lumayan besar di sisi dinding yang
lain.
Ibu tua itu mengamati satu persatu foto yang terpampang tersebut.
Suaminya. Dan lima orang anaknya. Tiga laki-laki dan dua orang perempuan. Entah
mengapa, mereka sama-sama tersenyum saat berfoto. Ibu tua menghela nafas
panjang.
”Kesunyian juga akhirnya yang menetaskan rindu. Suara anak-anak.
Canda keluarga. Barangkali adalah arus kebahagiaan yang hanyut ke muara. Adakah
kesendirian dapat melunasi semua itu?” ibu tua itu bergumam sendiri, lalu
berjalan menuju kursi kayu untuk memulai aktivitasnya tiap malam, menjahit.
Merenda kain pintu atau taplak meja sebagai perintang waktu sebelum larut mengirimkan
kantuk. Sebelum ia benar-benar jenuh dengan rangkak malam yang akhir-akhir ini
ia rasa bergerak sangat lamban.
Usianya sudah enam puluh lima tahun. Meski wajahnya masih
mencerminkan ketegaran, tapi semua itu tidak mampu menghadang tiap lembar
rambutnya yang memutih serta kulitnya yang keriput. Semenjak ketiga anaknya
yang laki-laki beristri, dan kedua anaknya yang perempuan bersuami dan memilih
menetap di rantau, serta semenjak suaminya meninggal, rumah gadang itu mulai
sunyi. Hanya Upik, seorang anak perempuan tetangga yang masih kelas enam SD
yang menemani kehidupannya menjalani hari-hari. Tak banyak kesulitan memang
dalam hidupnya. Selain harta dan tanah pusaka yang banyak menghasilkan seperti
kelapa, padi, jagung dan sebagainya, anak-anaknya pun tidak pernah absen untuk
mengirimkan uang tiap bulan. Tapi kesunyian dengan apa harus dibayarnya?
”Apa yang dapat dimaknai dari rumah gadang kebesaran. Lengkung luas
kelapangan. Tanah, sawah, dan tanaman yang berlimpah. Sementara sekeping jiwa
larut dalam lengang…,” sering ia keluhkan itu. Sering perasaan itu mendatangi
dan mengganggu ketenangan malam-malamnya.
Tiap hari dilalui oleh ibu tua seolah-olah waktu tak ada guna.
Bangun pagi-pagi. Setelah sholat subuh dia mulai memasak. Lalu membersihkan
rumah. Lalu mencabut-cabut rumput. Lalu menunggu Upik pulang sekolah. Lalu
makan. Lalu menjahit. Lalu tidur. Lalu…
Sering ia tersenyum sendiri apabila mendengar lantunan tape dari
rumah tetangga dengan lirik pantun Minang yang menggelitik: Kalaupun ada batang
cumanak. Daunnya banyak yang muda. Kalaupun ada banyak dunsanak. Tapi tak ada
tempat beriya. Ya, mereka semua jauh. Rantau lebih memikat mereka ketimbang
dusun yang lengang. Gegas kota lebih membuat hidup terasa berdenyut dibanding
lengking bangsi yang merusuh hati. Ibu tua tak sanggup memaksa mereka
untuk pulang, untuk menetap di kampung. Apalagi semua anaknya telah memiliki
rumah sendiri di rantau. Memiliki keluarga sendiri.
”Mungkin ini yang ibu-ibu lupa. Yang kita lupa. Bahwa suatu saat
suami pasti pergi. Anak-anak pergi. Dan kita kembali sendiri!” gumam ibu tua
itu kembali tersenyum sendiri.
Di jendela, ibu tua menatap jauh ke halaman. Anak-anak bermain
lumpur, berlempar-lemparan. Ada yang berkejar layang-layang putus. Di ujungnya,
gunung Sago terhampar jelas. Waktu itu pun menyergapnya. Sesuatu yang bernama
kenangan. Lembar-lembar di satu kurun yang disebut lampau. Ketika ia mengajak
anak-anaknya ke sawah. Berjalan di pematang. Mengantarkan kawa (makanan dan
minuman) untuk petani-petani yang mengerjakan sawahnya. Seraya tertawa-tawa
mereka akan berebutan menangkap capung-capung merah dan belalang. Mereka
bermain ke sungai. Mandi-mandi. Lalu makan bersama-sama dengan para petani.
Dengan samba lado dan ikan asin yang dibuatnya di rumah. Lalu mereka pulang setelah
senja. Setelah pelangi melengkungi hamparan sawah luas yang menguning. Ah,
kenangan!
Ibu tua meninggalkan jendela itu. Ia kembali menuju almanak. Matanya
tak lepas-lepas dari angka-angka tersebut seolah-olah ada satu harapan yang
ingin digenggamnya. Sebentar lagi lebaran. Anak-anaknya akan pulang. Dan tentu
bersama suami dan istri mereka serta cucu-cucunya. Kesunyiannya akan pecah.
Gumpal lengang yang selama ini menyesak dada akan mencair dan mengalir. Ia
harus bersiap untuk menyambut mereka. Ibu tua tersenyum puas. Sangat lepas.
”Upik, seminggu lagi mereka pulang. Tolong peram pisang yang
ditebang kemaren. Etek Suni paling suka kolak dicampur lemang!”
”Jangan lupa minta jagung pada Pak Simuh. Pak Adang Kalun pasti
minta jagung bakar!”
”Kita nanti akan buat samba lado tanak buat Etek Eti!”
”Oya, Upik. Juga pangek ikan buat Pak Etek Rustam!”
”Pical buat Pak Angah!”
Upik kadang bingung. Kadang ucapan-ucapan ibu tua sudah seperti
orang meracau. Tapi bocah kecil itu mencoba memahami dengan usianya sendiri, betapa
menggunungnya rindu yang menggumpal di diri ibu tua. Dengan patuh ia siapkan
apa yang diminta oleh ibu tua.
Sementara sang ibu tua, segala sesuatu terhadap tingkah dan lakunya
terlihat berlebihan. Beras yang masih ada di tambah. Takut nanti tidak cukup,
katanya. Setiap hari ia bersihkan rumah. Debu-debu. Kain pintu ditukar dengan
yang baru. Begitu juga dengan gorden dan taplak meja. Halaman dan perkarangan
diupahkan untuk membersihkannya. Pagar rumah dicat. Ibu tua terlihat riang dan
girang. Sebentar-sebentar ia melihat almanak. Sebentar-sebentar ia tersenyum.
Sebentar-sebentar ia beralih melihat foto keluarga. Foto di mana mereka semua
sedang tersenyum.
”Sunyi akan pecah dari rumah ini!” ucapnya seakan-akan baru saja
memenangkan sebuah pertarungan panjang. Itu terlihat dari wajah keriputnya yang
menjelma berseri-seri penuh kesenangan.
Jendela rumah gadang. Sebuah bingkai tempat menatap hari dan waktu.
Keramain dan kesunyian. Keindahan dan kepahitan. Segala yang bernama masa
lampau, hari ini, maupun jelang esok, akan tergambar sebagai sebuah potret.
Refleksi dari sebuah perjalanan yang dititahkan oleh Tuhan. Dan setiap
pergulirannya akan menjelma menjadi gambar kehidupan.
Tapi ibu tua mungkin lupa dengan gerak yang bernama perubahan.
Ketika anak-anak, menantu dan cucu-cucu yang ditunggu-tunggunya pulang, ia sama
sekali tidak melihat sunyi yang pecah. Tidak menyaksikan lengang yang cair. Tak
ada yang mengalir ke muara. Hanya diam yang kejam. Justru yang ditemukannya
adalah sebuah siksaan baru yang bernama keasingan.
Ia tidak mengerti lagi dengan bahasa anak-anaknya yang telah jauh
bertukar. Dengan ucapan-ucapan mereka yang terdengar aneh. Kadang terdengar
keras dan tidak sopan. Sikap dan tingkah laku mereka terlihat sangat berjauhan
dengan kebiasaan orang-orang di kampung. Mereka telah mengusung kota ke rumah
gadang ibu tua. Jantung ibu tua tertusuk. Pedih. Sangat pedih. Ia merasa
rindunya telah menghantam kepalanya. Ia ingin menangis. Apalagi ketika mereka
lebih memilih makan ke restoran ketimbang mencicipi masakan yang jauh-jauh hari
sudah dipersiapkan ibu tua. Ia merasa dirinya limbung dan segera akan rubuh.
Matanya berkunang-kunang. Panas.
Di jendela, sehari setelah anak-anak, menantu dan cucunya kembali ke
kota, ibu tua tertegun menatap jauh ke halaman. Di belakangnya Upik diam tak
berkata-kata. Dendang dari tape tetangga tak terasa mengiringi tetes tangis ibu
tua yang titik menimpa selendang usangnya: Kalau dipikir-pikir benar. Luka hati
jika tambah parah. Rendahlah ngarai dipandangi. Sebab selarut selama ini.
Kalian tau apa yang membuat sedih. Dikira kalian datang mengobati. Berharap
luka kan sembuh. Mengapa asam kalian siramkan. Tak ada lagi yang sesakit ini.
Bila tak ingat Tuhan. Tentu lebih baik memilih mati.
Ibu tua mencoba tersenyum mendengar dendang tersebut. Dihapusnya
airmata. Lalu menatap ke arah Upik.
”Upik, ketuaan adalah kesunyian. Serupa usia. Atau mungkin waktu
yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak akan dapat mengelak dari
kesendirian. Rindu hanyalah sebatas keinginan. Apa pun selebihnya adalah milik
Tuhan!” ucap ibu tua itu. Lalu menutup jendela. Dan senja pun turun di kampung
itu.
1. Tema
Tema atau pokok permasalahan
cerpen Jendela Tua
sesungguhnya terletak pada rasa kesepian, kesepian yang dirasakan ibu tua di
usia tuanya. Gambaran
tema tersebut dapat terlihat pada cuplikan cerpen berikut:
Tak banyak kesulitan memang
dalam hidupnya. Selain harta dan tanah pusaka yang banyak menghasilkan seperti
kelapa, padi, jagung dan sebagainya, anak-anaknya pun tidak pernah absen untuk
mengirimkan uang tiap bulan. Tapi kesunyian dengan apa harus dibayarnya?
2. Plot
Plot pada cerpen umumnya tunggal,
hanya terdiri dari satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir.
Urutan peristiwanya dapat dimulai dari mana saja, hingga mencapai konflik dan
klimaks.
Cerpen Jendela Tua menggunakan plot campuran dalam penyajiannya, plot maju
nampak jelas pada perjalanan hidup tokoh daan plot
mundur nampak pada saat tokoh utama
kembali membayangkan kehidupannya dulu bersama anak-anaknya.
3. Tokoh
Tokoh utama dalam cerpen Jendela Tua adalah tokoh Ibu tua. Karena dari awal cerita, Ibu tua selalu menjadi tokoh yang selalu dibicarakan. Selain tokoh
Ibu tua juga ada tokoh Upik.
4. Latar
Di
rumah Gadang dan sawah dihadirkan sebagai latar tempat berjalanya cerita oleh
pengarang. Keduanaya sering dijadikan tempat konflik yang disajikan pengarang.
Sedangkan latar waktu dalam cerpen
ini adalah waktu pagi, senja dan malam. Latar sosial yang mengiringi cerpen Jendela Tua ini adalah ketika Ibu
tua mengumpulkan hasil panennya dari tetangganya untu santapan Lebaran.
5. Sudut
Pandang
Cerpen Jendela Tua menggunakan sudut pandang persona
orang ketiga
dimana ‘Ibu tua (dia)’ yang banyak diceritakan tokoh
utama yang ada dalam cerita tersebut. Gambaran sudut pandang tersebut dapat terlihat pada
cuplikan cerpen berikut:
Ibu tua meninggalkan jendela itu.
Ia kembali menuju almanak. Matanya tak lepas-lepas dari angka-angka tersebut
seolah-olah ada satu harapan yang ingin digenggamnya
6. Amanat
Amanat
dalam cerpen Jendela Tua adalah bahwa kehidupan selalu berjalan terkadang tanpa kita
rasakan orang-orang yang kita sayangi satu persatu akan meninggalkan kita atau kita yang akan meninggalkan mereka. Gambaran amanat tersebut dapat terlihat pada cuplikan cerpen berikut:
“ketuaan adalah kesunyian. Serupa
usia. Atau mungkin waktu yang juga sudah tua. Pada akhirnya kita memang tak
akan dapat mengelak dari kesendirian.”
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar