Translate

Minggu, 26 Juni 2016

Pengertian Sinonimi



Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna yang diungkapkan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Jadi, kalau kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang juga bersinonim dengan kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk bersinonim dengan kata jelek. Maka kata jelek bersinonim dengan kata buruk. Kalau dibagankan adalah sebagai berikut.
Pada definisi di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama”. Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak (Zgusta 1971:89, Ulluman 1972:141). Mengapa demikian? Mengapa tidak mutlak? Seperti sudah disebutkan di muka, ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda maka maknanya pun tidak persis sama. Jadi, makna kata buruk dan jelek tidak persis sama; makna kata bunga, kembang, dan puspa pun tidak persis sama. Andaikata kata mati dan meninggal itu maknanya persis sama, tentu kita dapat mengganti kata mati dalam dalam kalimat “Tikus itu mati diterkam kucing” dengan kata meninggal menjadi “ Tikus itu meninggal diterkam kucing”. Tetapi ternyata penggantian tidak dapat dilakukan. Ini bukti yang jelas bahwa kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang sama persis.
Coba perhatikan masalah berikut! Secara matematis kalau kata ban sama maknanya dengan kata roda; dan kata ban juga sama maknanya dengan kata ikat pinggang; maka berarti kata roda sama maknanya dengan kata ikat pinggang; tetapi ternyata kata roda sedikitpun tidak ada sama persamaannya dengan kata ikat pinggang.
Perhatikan!
Ban = roda
Ban = ikat pinggang
Jadi, *roda = ikat pinggang
tetapi ternyata roda tidak sama dengan ikat pinggang. Padahal dalam matematika.
a = b
a = c
maka sudah pasti b = c. Ternyata dalam semantik kaidah itu tidak berlaku, kalau ditanya
mengapa? Karena kesamaan makna antara ban dan roda tidak mutlak 100%, dan kesamaan antara ban dan ikat pinggang juga tidak juga tidak mutlak 100%. Oleh karena itu, bisa saja terjadi antara roda dan ikat pinggang tidak ada kesamaan sedikit pun. Dengan kata lain, kesamaan memang menyentuh ban dan roda, dan ban dan ikat pinggang; tetapi ban dan roda tidak ada sentuhan sedikit pun. Perhatikan gambar berikut!
A = ban
B = roda
C = ikat pinggang
AB = bagian makna yang sama
AC = bagian makna yang sama antara ban dan ikat pinggang
Jadi, kalau ban (A) bersinonim dengan roda (B), memang bisa diterima karena bagian atau unsure maknanya yang sama yaitu pada bagian AB; juga kalau ban (A) bersinonim dengan ikat pinggang (C) juga bisa diterima karena ada bagian atau unsurnya yang sama yaitu pada bagian AC. Tetapi ban (A) jelas tidak bersinonim dengan ikat pinggang (C) karena antara keduanya tidak ada bagian atau unsure makna yang sama.
Kalau dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang persis sama maka timbul pertanyaan: Yang sama apanya? Menurut teori Verhaar, yang sama tentu adalah informasinya; padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual, sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen, yang sama adalah bagian atau unsure tertentu saja dari makna itu yang sama, misalnya kata mati dan meninggal. Kata mati memiliki komponen makna (1) tiada bernyawa, (2) dapat dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon, dan sebagainya), sedangkan meninggal memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa, (2) hanya dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian, kata mati dan meninggal hanya bersinonim pada komponen makna (1) tiada bernyawa. Karena itu, jelas bagi kita kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali, sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simentris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata-kata yang dapat dipertukarkan begitu saja pun jarang ada. Pada suatu tempat, kita mungkin dapat menukar kata mati dan kata meninggal; tetapi di tempat lain tidak dapat. Begitu pula kata bunga dan kembang; di satu tempat kita dapat mempertukarkannya, tetapi di tempat lain tidak.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain, karena;
(1)     Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim denga kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modern).
(2)     Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim, tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia Timur (Maluku). Sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.
(3)     Faktor sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.
(4)     Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun, kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan Islam; dan kata mistik untuk semua agama. Contoh lain kata matahari bersinonim denga kata surya; tetapi kata surya hanya cocok atau hanya lazim digunakan dalam sastra, sedangkan kata matahari dapat digunakan secara umum.
(5)     Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar; kata meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit. Contoh lain, kata hotel bersononim dengan kata penginapan; tetapi kata penginapan lebih luas maknanya dari kata hotel sebab ke dalam penginapan termasuk juga hotel, losmen, dan motel. Conoth lain yang sedang popular, kata mantan bersinonim dengan kata bekas. Tetapi kata bekas bersifat umum, dapat digunakan untuk apa saja, seperti bekas guru, bekas pacar, bekas lurah, bekas benteng. Sedangkan kata mantan hanya berkaitan dengan jabatan terhormat yang pernah diduduki seperti mantan gubernur, mantan lurah, dan mantan rektor. Jika pun ada yang mengatakan misalnya, mantan pacar atau mantan suami maka akan diterima sebagai gurauan.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikna contoh berikut!
(a)     Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat berikut.
(1)        Minta bantuan dia.
Minta bantuannya.
(2)        Bukan teman saya.
Bukan temanku.
(b)        Sinonim antara kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek; antara bunga dengan puspa, dan sebagainya.
(c)        Sinonim antara kata dengan frasa atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup usia; antara hamil dengan duduk perut; antara pencuri dengan tamu yang tidak diundang; antara tidak boleh tidak dengan harus.
(d)       Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan berpulang ke rahmatullah; dan antara baru baru dengan mobil yang baru, malahan baju hangat dan baju dingin.
(e)        Sinonim antara kalimat dengan kalimat. Seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang Adik. Kedua kalimat ini pun dianggap bersinonim, meskipun yang pertama dan yang kedua kalimat pasif.
Akhirnya, mengenai sinonim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu, dan kuning tidak memiliki sinonim. Kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasartetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan; dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Contoh lain kata pimpin tidak mempunyai sinonim, tetapi memimpin ada sinonimnya yaitu membimbing, menuntun, mengetuai, dan menunjukan. Keempat, ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya, yaitu gelap, mesum, buruk, jahat, dan tidak menentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar