Secara etimologi kata sinonimi
berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma
yang berarti ‘nama’, dan syn yang
berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi
berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik Verhaar
(1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat)
yang maknanya kurang lebih sama dengan makna yang diungkapkan lain. Umpamanya
kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim; mati, wafat, meninggal,
dan mampus adalah empat buah kata
yang yang bersinonim.
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat
dua arah. Jadi, kalau kata bunga
bersinonim dengan kata kembang, maka
kata kembang juga bersinonim dengan
kata bunga. Begitu juga kalau kata buruk bersinonim dengan kata jelek. Maka kata jelek bersinonim dengan kata buruk.
Kalau dibagankan adalah sebagai berikut.
Pada definisi di atas dikatakan “maknanya kurang lebih sama”.
Ini berarti, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus
persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak (Zgusta
1971:89, Ulluman 1972:141). Mengapa demikian? Mengapa tidak mutlak? Seperti
sudah disebutkan di muka, ada prinsip umum semantik yang mengatakan apabila
bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaannya hanya
sedikit. Demikian juga kata-kata yang bersinonim; karena bentuknya berbeda maka
maknanya pun tidak persis sama. Jadi, makna kata buruk dan jelek tidak
persis sama; makna kata bunga, kembang, dan puspa pun tidak persis sama. Andaikata kata mati dan meninggal itu
maknanya persis sama, tentu kita dapat mengganti kata mati dalam dalam kalimat “Tikus itu mati diterkam kucing” dengan
kata meninggal menjadi “ Tikus itu meninggal diterkam kucing”. Tetapi ternyata
penggantian tidak dapat dilakukan. Ini bukti yang jelas bahwa kata-kata yang
bersinonim itu tidak memiliki makna yang sama persis.
Coba perhatikan masalah berikut! Secara matematis kalau kata ban sama maknanya dengan kata roda; dan
kata ban juga sama maknanya dengan kata ikat
pinggang; maka berarti kata roda
sama maknanya dengan kata ikat pinggang;
tetapi ternyata kata roda sedikitpun tidak ada sama persamaannya dengan kata ikat pinggang.
Perhatikan!
Ban = roda
Perhatikan!
Ban = roda
Ban
= ikat pinggang
Jadi,
*roda = ikat pinggang
tetapi
ternyata roda tidak sama dengan ikat pinggang. Padahal dalam matematika.
a = b
a = c
maka
sudah pasti b = c. Ternyata dalam semantik kaidah itu tidak berlaku, kalau
ditanya
mengapa? Karena kesamaan makna antara ban dan roda tidak mutlak 100%, dan kesamaan antara ban dan ikat pinggang juga tidak juga tidak mutlak 100%. Oleh karena itu, bisa saja terjadi antara roda dan ikat pinggang tidak ada kesamaan sedikit pun. Dengan kata lain, kesamaan memang menyentuh ban dan roda, dan ban dan ikat pinggang; tetapi ban dan roda tidak ada sentuhan sedikit pun. Perhatikan gambar berikut!
mengapa? Karena kesamaan makna antara ban dan roda tidak mutlak 100%, dan kesamaan antara ban dan ikat pinggang juga tidak juga tidak mutlak 100%. Oleh karena itu, bisa saja terjadi antara roda dan ikat pinggang tidak ada kesamaan sedikit pun. Dengan kata lain, kesamaan memang menyentuh ban dan roda, dan ban dan ikat pinggang; tetapi ban dan roda tidak ada sentuhan sedikit pun. Perhatikan gambar berikut!
A
= ban
B
= roda
C
= ikat pinggang
AB
= bagian makna yang sama
AC
= bagian makna yang sama antara ban dan ikat pinggang
Jadi,
kalau ban (A) bersinonim dengan roda (B), memang bisa diterima karena bagian
atau unsure maknanya yang sama yaitu pada bagian AB; juga kalau ban (A)
bersinonim dengan ikat pinggang (C) juga bisa diterima karena ada bagian atau
unsurnya yang sama yaitu pada bagian AC. Tetapi ban (A) jelas tidak bersinonim
dengan ikat pinggang (C) karena antara keduanya tidak ada bagian atau unsure
makna yang sama.
Kalau dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang
persis sama maka timbul pertanyaan: Yang sama apanya? Menurut teori Verhaar,
yang sama tentu adalah informasinya; padahal informasi ini bukan makna karena
informasi bersifat ekstralingual, sedangkan makna bersifat intralingual. Atau
kalau kita mengikuti teori analisis komponen, yang sama adalah bagian atau
unsure tertentu saja dari makna itu yang sama, misalnya kata mati dan
meninggal. Kata mati memiliki komponen makna (1) tiada bernyawa, (2) dapat
dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon, dan sebagainya),
sedangkan meninggal memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa, (2) hanya
dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian, kata mati dan meninggal hanya
bersinonim pada komponen makna (1) tiada bernyawa. Karena itu, jelas bagi kita
kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali,
sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simentris memang tidak
ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata-kata yang
dapat dipertukarkan begitu saja pun jarang ada. Pada suatu tempat, kita mungkin
dapat menukar kata mati dan kata meninggal; tetapi di tempat lain tidak dapat.
Begitu pula kata bunga dan kembang; di satu tempat kita dapat
mempertukarkannya, tetapi di tempat lain tidak.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar kata dengan kata lain
yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain, karena;
(1)
Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang
bersinonim denga kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan
karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais.
Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modern).
(2)
Faktor tempat atau daerah. Misalnya
kata saya dan beta adalah bersinonim, tetapi kata beta hanya cocok untuk
digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia Timur (Maluku). Sedangkan
kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.
(3) Faktor sosial. Misalnya kata aku dan saya
adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan
untuk teman sebaya dan tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau
yang status sosialnya lebih tinggi.
(4)
Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata
tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun,
kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan
Islam; dan kata mistik untuk semua agama. Contoh lain kata matahari bersinonim
denga kata surya; tetapi kata surya hanya cocok atau hanya lazim digunakan
dalam sastra, sedangkan kata matahari dapat digunakan secara umum.
(5)
Faktor nuansa makna. Misalnya
kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata
yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi kata
melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata; kata
melotot hanya digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar; kata meninjau
hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata
mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit. Contoh
lain, kata hotel bersononim dengan kata penginapan; tetapi kata penginapan
lebih luas maknanya dari kata hotel sebab ke dalam penginapan termasuk juga
hotel, losmen, dan motel. Conoth lain yang sedang popular, kata mantan
bersinonim dengan kata bekas. Tetapi kata bekas bersifat umum, dapat digunakan
untuk apa saja, seperti bekas guru, bekas pacar, bekas lurah, bekas benteng.
Sedangkan kata mantan hanya berkaitan dengan jabatan terhormat yang pernah
diduduki seperti mantan gubernur, mantan lurah, dan mantan rektor. Jika pun ada
yang mengatakan misalnya, mantan pacar atau mantan suami maka akan diterima
sebagai gurauan.
Di dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan
bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya.
Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang
bersinonim pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara
satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikna contoh berikut!
(a)
Sinonim antara morfem (bebas) dengan
morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam
kalimat berikut.
(1) Minta bantuan dia.
Minta
bantuannya.
(2) Bukan teman saya.
Bukan
temanku.
(b)
Sinonim antara kata dengan kata
seperti antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek; antara bunga
dengan puspa, dan sebagainya.
(c)
Sinonim antara kata dengan frasa
atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup usia; antara hamil
dengan duduk perut; antara pencuri dengan tamu yang tidak diundang; antara
tidak boleh tidak dengan harus.
(d)
Sinonim antara frase dengan frase.
Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan
berpulang ke rahmatullah; dan antara baru baru dengan mobil yang baru, malahan
baju hangat dan baju dingin.
(e) Sinonim antara kalimat dengan kalimat.
Seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang Adik. Kedua kalimat ini pun
dianggap bersinonim, meskipun yang pertama dan yang kedua kalimat pasif.
Akhirnya, mengenai sinonim ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memunyai
sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu, dan kuning tidak memiliki sinonim.
Kedua, ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk
jadian. Misalnya kata benar dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak
bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai
sinonim pada bentuk dasartetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya
kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu
mengeringkan; dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Contoh lain kata pimpin
tidak mempunyai sinonim, tetapi memimpin ada sinonimnya yaitu membimbing,
menuntun, mengetuai, dan menunjukan. Keempat, ada kata-kata yang dalam arti
“sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru
mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak ada
sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya, yaitu gelap, mesum,
buruk, jahat, dan tidak menentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar